Senin, 06 Agustus 2012

yanaadhesta: cerpen anak

yanaadhesta: cerpen anak:                                                  KACAMATA BUAT HANAH Pagi yang menyejukkan bagi siapapun dikampung itu.  Embun yang masi...

cerpen anak


                                                KACAMATA BUAT HANAH
Pagi yang menyejukkan bagi siapapun dikampung itu.  Embun yang masih tersisa di dedaunan. Terdengar kesibukan-kesibukan dari setiap rumah apalagi yang mempunyai anak yang masih Sekolah Dasar,tak terkecuali sebuah rumah kecil berdindingkan gedek, beratapkan rumbia  yang didalamnya terdapat seorang anak yang rajin dan ceria.
                “bu, sudah rapi rambutku?”
                “sudah.”
                “aku pergi ya bu. “
                Ia berjalan dengan senyum di bibirnya. Jarak rumah kesekolahnya hanya beberapa meter melewati dua rumah, kebun ubi dan sebuah makam maka dia akan sampai kesekolahnya tanpa terlamabat seditikpun.
                Suasana sekolah masih sepi hanya ada beberapa murid yang ada disana. Mereka memang anak-anak yang rajin. Hanah yang baru datang hanya duduk diam di depan kelas sambil menunggu temannya yang bertugas memegang kunci kelas.
                “Hanah, kamu memang murid teladan. Selalu datang awal.”
                “namanya juga rumah aku dekat.”
                Pelajaran pertama Matematika. Pelajaran yang sangat menyebalkan bagi setiap murid. Seorang lelaki bertubuh gempal memasuki ruang kelas sambil memegang sebuah kayu rotan.
                “selamat pagi anak-anak!!!.”
 Suaranya yang lantang seakan-akan membuat yang tidur terbangun, membuat orang yang makan menjadi tersedak,membuat yang berbicara menjadi terbisu.
                “selamat pagi paaaak!!!!!.”
                “bagus. Begi tu seharusnya mengawali pagi dengan semangat yang membara. Apa jadinya kalau anak bangsa loyo dan berjiwa lemah?.”
                “kamu!!!.”
                Dengan gayanya yang khas memukul meja secara tiba-tiba ketika berbicara dan memanggil muridnya dikelas.
                “ya pak.”
                “apa cita-citamu?.”
                “saya ingin menjadi guru pak.”
                “bagus. Bagaimana kamu untuk mencapainya.”
                “saya terus belajar dengan semagat dan giat.”
                “iya. Bagus sekali. Semangat adalah kunci segala hal. Jika tak semangat dalam melakukan suatu niscaya pekerjaan maka hasilnya akan buruk. Baiklah kalau begitu kita mulai pelajaran.”
                “yaaaaaaaaaaaaaachhhhh.”
                “baru saja dikatakan harus semangat sudah loyo. Kalau kalian tidak semangat bagaimana kalian bisa pintar matematika. Semangat! Semangat!”
                Begitulah pak Tambah memulai pelajarannya.
                “sekarang bapak kasih tugas.”
                “wiiiiiiiiihhhhh.”
                “kalian ini kalau ada tugas itu jangan wiiiiiih tapikatakan waaaah maka tugas kalian selesai dengan wah juga. Ayo semua katakan wah.”
                “Waaaaaaaahhhhhhhhhhhh.”
                “Nah, begitu semangat.”
                3 jam selesai pelajaran pak Tambah lonceng tanda istirahatpun berbunyi. Murid-murid berlari menuju kantin. Pelajaran matematika yang menguras otak membuat mereka menjadi lapar.
Ada yang bermain lompat tali dan ada juga yang ke perpus seperti Raihanah sigadis mungil.
                “Han!”
                “Ada apa Mi.”
                “Ayo ikut main yeye.”
                “Males ah. Badanku kan kecil. Kalau main sama kalian pasti aku kalah.”
                “ Ya gak apa-apa kan nanti dibantuin sama satu kelompoknya.”
                “Iya benar tuh kata Rama.”
                Niat Hanah yang ingin ke perpus akhirnya tidak kesampaian karena bujuk rayu teman-temannya.
                “ teng . . . teng . . . teng . . .”
Bunyi lonceng berbunyi keras yang menandakan istirahat telah usai. Semua muridpun memasuki kelasnya masing-masing.
                “ Ayo anak-anak yang beragama kristen pindah kekelas sebelah ya”
Pelajaran di jam keempat adalah pelajaran agama semua murid kelas B yang beragama Kristen berpindah ke kelas A begitu juga sebaliknya kelas A yang beragama Islam berpindah ke kelas B.
     * * *
                “ Hanah . . . !!!”
                “ya . . ., tunggu ya . . . “
                “ Ada apa di?”
                “Ayo kita bermain .”
                “ Iya, kita panggil yang lainnya ya.”
                “ Pasti.”
                Aldi dan Hanah berjalan menyusuri dusun mencari keberadaan teman-temannya.
                “ Jadi kita mau bermain apa?”
                “ gimana kalau bermain kelereng?”
                “ gak ah Ci. Akukan gak pintar. Masa aku Cuma lihatin kalian main.”
                “ iya juga ya Nu. Kamukan belum begitu pintar bermain kelereng. Bisa-bisa kamu kalah terus.”
                “ terus kita bermain apa donk.”
                “ bagaimana kalau kita bermain paman doli.”
                “ ide bagus tuh Han.”
                “ gimana dengan kalian? Uci, Inu, Ayu, Dedi, Reni?”
                “ setuju . . .”
                “ kompak banget sih.”
                “ kita mulai ya. Siapa yang akan jaga.”
                “ hom pimpa alaium gambreng.”
                “ ye . . . aku lepas.”
                “ Si Uci udah aman.”
                “ hom pimpa.......”
                “ Aldi kalah. Aldi jaga.”
                “ iya . . . iya . . .”
                paman doli tidak tahu malu,
pakai kacamata,
                Mata hampir rusak,
                Bila memanggil paman,
                Paman doli . . .
                Bila memanggil becak,
                Krining – krining . . .
                Ada apa disana?
                Ada ular melingkar,
                Bila di tembak .
                Dor dor dor . . .
Begitulah seterusnya Hanah dan teman – temannya bermain. Masa yang sangat indah, dimana mereka belum merasakan masalah yang berat seperti yang dialami oranga dewasa pada umumnya. Dimana mereka yang masih lugu dan mengukir sebuah persahabatan. Menciptakan sebuah cerita. Melengkungkan sebuah senyuman. Berlari dengan ceria. Dan yang paling penting menguatkan sebuah semangat dalam menjalani kehidupan.
                “ teman – teman aku sudah capek.”
                “ ya udah. Kalau begitu kita istiraht aja dulu.”
                “ eh temen – temen gimana kalau besok kita keladangku.”
                “ ngapain?”
                “ ngambil jambu bol. Mau gak?”
                “ mau  mau “
                “ ya udah, kalau begitu kita pulang aja bentar lagi sore.”
                Hanah dan teman – temanya kembali kerumah masing – masing.  Sore telah tiba Hanah maengambil sapu lidi yang ada dibelakang rumahnya. Ia berjalan menuju halaman depan rumahnya yang tak begitu besar hanya berukuran 3x4 meter. Hanah menyapu halaman yang kotor dengan daun – daun pagar yang jatuh karena sudah kering. Setelah menyelesaikan halaman depan Hanahpun menyapu halaman samping yang hanya ditumbuhi sebuah pohon bonsai yang sering dijadikan Hanah dan teman – temannya tempat bermain dibawahnya.
                Menjelang maghrib Hanah dan teman – temannya melihat barisan – barisan burung kalong yang menciptakan banyak bentuk. Biasanya mereka ditemani nenek angkat Hanah yang tinggal didepan rumahnya. Nenek yang juga sering direbutkan olehnya dan Aldi teman dekatnya.
* * *
                “ Ci. Aku lihat catatan kamu dong.”
                “ ya sudah ambil ini.”
                “ Nah.”
                “ ya.”
                “ aku perhatikan belakangan ini kamu gak bisangeliat kepapan tulis. Terus kamu jarang bermain karena kamu gak bisa ngeliat yang jauh – jauh.”
                “ aku juga pengennya main bareng kalian. Tapi gak tahu ntah kenapa mata aku.”
                “ apa kamu rabun jauh ya.”
                “ maksudnya?”
                “ ia seperti kakak aku. Dia pakai kaca mata baru bisa ngeliat yang jauh – jauh.”
                “ Hanah. Uci. Sedang apa kalian?”
                “ maaf bu.”
                “ jangan berbicara terus.”
                “ maaf bu.”
                “ ya sudah kita lanjutkan pelajaran.”      
                Akhir pelajaran telah usai terdengar suara –suara aba –aba akan pulang.
                “ berdiri . . . hormat graaak . . . “
                “ selamat siang bu. . .”
                “ selamat siang anak –anak.”
                Begitulah setiap anak – anak ketika pelajaran telah berakhir dan merekapun langsung berlari berhamburan menuju rumah masing – masing. Tampaknya perut – perut lapar membuat mereka semangat menuju rumahnya.
                “ o ia Ci. Tentang biaya kacamata itu berapa ya?”
                “ harganya sekitar limaratus ribuan.”
                “ o. Limaratus ribu ya.”
                “ ya.”
                “ ya udah aku duluan ya.”
                “ ia.”
                “ assalamu’alaikum.”
                “ wa’alaikumussalam.”
                “ bu.”
                “ ia Han. Ada apa?”
                “ kalau Hanah minta sesuatu boleh gak?”
                “ emangnya mau apa?”
                “ Hanah pengen beli kaca mata.”
                “ buat apa?”
                “ aku sudah tidak bisa melihat sesuatu sampai jauh bu.”
                “ ya sudah. Kalau ibu punya uang ibu akan belikan.”
                Setiap hari Hanah meminjam catatan Uci jika ada catatan di papan tulis. Itu membuatnya menjadi sangat susah dalam belajar. Satu semester Hanah mengalami hal itu akibatnya ia tak mendanpatkan ranking pertama lagi dikelasnya.
                “ Hanah . . .”
                “ teman – teman. Mau ngajak main ya? Kan udah aku bilang aku gak bisa main lagi. Kalian aja yang main ya. Aku dengerin kalian aja dari rumah.”
                “ siapa bilang kamu gak bisa main lagi Han.”
                “ kaliankan sudah tahu tentang penyakit mataku ini. Tunggu ibuku punya uang baru aku bisa beli kaca mata dan bermain lagi bersama kalian.”
                “ kelamaan Han. Kami gak mau menunggu lagi.”
                “ mau bagaimana lagi teman – teman.”
                “ kamu bisa kok bermain.”
                “ caranya?”
                Mereka semua tersenyum saling berpandangan satu sama lain.
                “ kami ada sesuatu buat kamu. Walau semester ini kamu tidak juara kelas tapi kau tetap menjadi juara di haati sahabat – sahabatmu ini. Dan karena kamu telah juara di hati kami, kami akan memberikan hadiah buat kamu.”
                Reni memberikan sebuah bungkusan kecil kepada Hanah.
                “ boleh aku buka sekarang?”
                “ gak usah. Tahun depan aja.”
                “ ha . . . ha . . . ha . . .”
                Mereka berenam tertawa.
                “ ya sekaranglah Han.”
                Srek . . . srek . . . Hanah membuka bungkusan kecil itu dan ia sangat terkejut dan langsung berpelukan dengan sahabat – sahabatnya.
                “ terimakasih teman – teman. Tapi kalian uang darimana? Inikan sangat mahal.”
                “ selama semester ini kami menyisihkan sedikit uang jajan kami. Itu sih tidak seberapa dibanding dengan persahabatan kita.”
                “ sekali lagi terimakasih.”
                “ ya sudah. Gak usah drama – dramaan lagi. Lebih baik kita main sekarang. Udah rindu banget nih main sama kamu Han.”
                Mereka kembali menghidupkan keceriaan yang telah lama hilang dari mereka. Mereka kembali bermain dibawah  pohon besar yang selalu jadi kebanggaan mereka.

                                                                SELESAI
Masa kecil adalah sebuah kebahagiaan yang paling sederhana. Tak ada masa yang paling bahagia melainkan masa kecil. Dimana saat itu belum mengenal masalah yang begitu berat.